ASUHAN KEPERAWATAN
KLIEN DENGAN CHRONIC KIDNEY DESEASE (CKD)
Oleh :
ZAKIAH BAKRI
19014104025
CLINICAL THEACHER
Ns. Sefti Rompas, S. Kep., M.Kes
UNIVERSITAS SAM RATULANGI FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
PROFESI NERS
MANADO 2019
LAPORAN PENDAHULUAN DAN RESUME
CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)
A.
Definisi
Chronic kidney disease (CKD) atau penyakit ginjal kronis
didefinisikan sebagai kerusakan ginjal untuk sedikitnya 3 bulan dengan atau
tanpa penurunan glomerulus filtration rate (GFR) (Nahas & Levin, 2010). CKD
atau gagal ginjal kronis (GGK) didefinisikan sebagai kondisi dimana ginjal
mengalami penurunan fungsi secara lambat, progresif, irreversibel, dan samar
(insidius) dimana kemampuan tubuh gagal dalam mempertahankan metabolisme, cairan,
dan keseimbangan elektrolit, sehingga terjadi uremia atau azotemia (Smeltzer,
2009)
B.
Klasifikasi
Klasifikasi
gagal ginjal kronis berdasarkan derajat (stage) LFG (Laju Filtration
Glomerulus) dimana nilai normalnya adalah 125 ml/min/1,73m2 dengan
rumus Kockroft – Gault sebagai berikut :
Derajat
|
Penjelasan
|
LFG
(ml/mn/1.73m2)
|
1
|
Kerusakan
ginjal dengan LFG normal atau ↑
|
≥ 90
|
2
|
Kerusakan
ginjal dengan LFG ↓ atau ringan
|
60-89
|
3
|
Kerusakan
ginjal dengan LFG ↓ atau sedang
|
30-59
|
4
|
Kerusakan
ginjal dengan LFG ↓ atau berat
|
15-29
|
5
|
Gagal ginjal
|
< 15 atau
dialisis
|
Sumber : Sudoyo,2006 Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam. Jakarta : FKUI
C.
Etiologi
Diabetes dan hipertensi baru-baru ini telah menjadi etiologi
tersering terhadap proporsi GGK di US yakni sebesar 34% dan 21% . Sedangkan
glomerulonefritis menjadi yang ketiga dengan 17%. Infeksi nefritis
tubulointerstitial (pielonefritis kronik atau nefropati refluks) dan penyakit
ginjal polikistik masing-masing 3,4%. Penyebab yang tidak sering terjadi yakni uropati
obstruktif , lupus eritomatosus dan lainnya sebesar 21 %. (US Renal System,
2000 dalam Price & Wilson, 2006). Penyebab gagal ginjal kronis yang
menjalani hemodialisis di Indonesia tahun 2000 menunjukkan glomerulonefritis
menjadi etiologi dengan prosentase tertinggi dengan 46,39%, disusul dengan
diabetes melitus dengan 18,65%, obstruksi dan infeksi dengan 12,85%, hipertensi
dengan 8,46%, dan sebab lain dengan 13,65% (Sudoyo, 2006).
D.
Patofisiologi
Penyebab yang mendasari CKD bermacam-macam seperti
penyakit glomerulus baik primer maupun sekunder, penyakit vaskular, infeksi,
nefritis interstisial, obstruksi saluran kemih. Patofisiologi penyakit ginjal
kronik melibatkan 2 mekanisme kerusakan : (1) mekanisme pencetus spesifik yang
mendasari kerusakan selanjutnya seperti kompleks imun dan mediator inflamasi
pada glomerulo nefritis, atau pajanan zat toksin pada penyakit tubulus ginjal dan interstitium;
(2) mekanisme kerusakan progresif yang ditandai dengan adanya
hiperfiltrasi dan hipertrofi nefron yang tersisa.
Ginjal kita memiliki 1 juta nefron, dan
masing-masing memiliki kontribusi terhadap total GFR. Pada saat terjadi renal
injury karena etiologi seperti yang telah dijelaskan di atas, pada awalnya
ginjal masih memiliki kemampuan untuk mempertahankan GFR. Namun pada akhirnya
nefron sehat yang tersisa ini akan mengalami kegagalan dalam mengatur auto
regulasi tekanan glomerular, dan akan menyebabkan hipertensi sistemik dalam
glomerulus. Peningkatan tekanan glomerulus ini akan menyebabkan hipertrofi
nefron yang sehat sebagai mekanisme kompensasi. Pada tahap ini akan terjadi
poliuria, yang bisa menyebabkan dehidrasi dan hiponatremia akibat ekskresi Na melalui
urin meningkat. Peningkatan tekanan glomerulus ini akan menyebabkan
proteinuria. Derajat proteinuria sebanding dengan tingkat progresi dari gagal
ginjal.
Reabsorpsi protein pada sel tubuloepitelial dapat menyebabkan kerusakan langsung
terhadap jalur lisosomal intraselular,meningkatkan stres
oksidatif, meningkatkan ekspresi lokal growth faktor, dan melepaskan faktor
kemotaktikyang pada akhirnya akan menyebabkan inflamasi dan fibrosis
tubulointerstitiel melalui pengambilan dan aktivasi makrofag. Inflamasi kronik
pada glomerulus dan tubuli akan meningkatkan sintesis matriks ektraseluler dan
mengurangi degradasinya, dengan akumulasi kolagen tubulointerstitiel yang
berlebihan. Glomerular sklerosis, fibrosis tubulointerstitiel, dan atropi
tubuler akan menyebabkan massa ginjal yang sehat menjadi berkurang dan akan
menghentikan siklus progresi penyakit oleh hiperfiltrasi dan hipertrofi nefron.
Kerusakan struktur ginjal tersebut akan menyebabkan kerusakan fungsi
ekskretorik maupun non-ekskretorik ginjal. Kerusakan fungsi ekskretorik
ginjal antara lain penurunan ekskresi sisa nitrogen, penurunan reabsorbsi Na
pada tubuli, penurunan ekskresi kalium, penurunan ekskresi fosfat, penurunan
ekskresi hidrogen. Kerusakan fungsi non-ekskretorik ginjal antara lain
kegagalan mengubah bentuk inaktif Ca, menyebabkan penurunan produksi eritropoetin (EPO), menurunkan fungsi insulin,
meningkatkan produksi lipid, gangguansistem imun, dan sistem
reproduksi. Angiotensin II memiliki peran penting dalam pengaturan tekanan
intraglomerular. Angiotensin II diproduksi secara sistemik dan secara lokal di
ginjal dan merupakan vasokonstriktor kuat yang akan mengatur tekanan
intraglomerular dengan cara meningkatkan irama arteriole efferent.
Angiotensin II akan memicu stres oksidatif yang pada
akhirnya akan meningkatkan ekspresi sitokin, molekul adesi, dan kemoaktraktan,
sehinggaangiotensin II memiliki peran penting dalam patofisiologi CKD. Gangguan
tulang pada CKD terutama stadium akhir disebabkan karena banyak sebab, salah
satunya adalah penurunan sintesis 1,25-dihydroxyvitamin D atau kalsitriol, yang
akan menyebabkan kegagalan mengubah bentuk inaktif Ca sehingga terjadi
penurunan absorbsi Ca. Penurunan absorbsi Ca ini akan menyebabkan hipokalsemia
dan osteodistrofi. Pada CKD akan terjadi hiperparatiroidisme sekunder yang
terjadi karena hipokalsemia, hiperfosfatemia, resistensi skeletal terhadap PTH.
Kalsium dan kalsitriol merupakan feedback negatif inhibitor, sedangkan
hiperfosfatemia akan menstimulasi sintesis dan sekresi PTH.Karena penurunan laju
filtrasi glomerulus, maka ginjal tidak mampu untuk mengekskresikan zat-zat
tertentu seperti fosfat sehingga timbul hiperfosfatemia. Hiperfosfatemia akan
menstimulasi FGF-23, growthfaktor ini akan menyebabkan inhibisi 1-αhydroxylase.
Enzim ini digunakan dalam sintesis kalsitriol. Karena inhibisi oleh
FGF-23 maka sintesis kalsitriol pun akan menurun. Akan terjadi resistensi
terhadap vitamin D. Sehingga feedback negatif terhadap PTH tidak berjalan.
Terjadi peningkatan hormon parathormon. Akhirnya akan timbul hiperparatiroidisme
sekunder. Hiperparatiroidisme sekunder akan menyebabkan depresi padasumsum
tulang sehingga akan menurunkan pembentukan eritropoetin yang pada akhirnya
akan menyebabkan anemia.
Selain itu hiperparatiroidisme sekunder juga akan
menyebkan osteodistrofi yang diklasifikasikan menjadi osteitis fibrosa cystic,
osteomalasia, adinamik bone disorder, dan mixed osteodistrofi. Penurunan
ekskresi Na akan menyebabkan retensi air sehingga pada akhirnya dapat
menyebabkan oedem, hipertensi. Penurunan ekskresi kalium juga terjadi terutama
bila GFR < 25 ml/mnt, terlebih pada CKD stadium 5. Penuruan ekskresi ini
akan menyebabkan hiperkalemia sehingga meningkatkan resiko terjadinya kardiak
arrest pada pasien. Asidosis metabolik pada pasien CKD biasanya merupakan
kombinasi adanya anion gap yang normal maupun peningkatan anion gap.
Pada CKD, ginjal tidak mampu membuat ammonia
yang cukup pada
tubulus proksimal untuk mengekskresikan asam endogen ke dalam urin dalam bentuk ammonium. Peningkatan aniongap
biasanya terjadi pada CKD stadium 5. Anion gap terjadi karena akumulasi dari
fosfat, sulfat, dan anion-anion lain yang tidak terekskresi dengan baik.
Asidosis metabolik pada CKD dapat menyebabkan gangguan metabolisme protein.
Selain itu asidosis metabolic juga merupakan salah satu faktor dalam
perkembangan osteodistrofi ginjal. Pada CKD terutama stadium 5, juga dijumpai
penurunan ekskresi sisa nitrogen dalam tubuh. Sehingga akan terjadi uremia.
Pada uremia, basal urea nitrogen akan meningkat,
begitu juga dengan ureum, kreatinin, serta asam urat. Uremia yang bersifat
toksik dapat menyebar ke seluruh tubuh dan dapat mengenai sistem
saraf perifer dan sistem saraf pusat. Selain itu sindrom uremia ini akan menyebabkan trombositopati dan
memperpendek usia sel darah merah. Trombositopati akan meningkatkan resiko
perdarahan spontan terutama pada GIT, dan dapat berkembang menjadi anemia bila penanganannya tidak
adekuat. Uremia bila sampai dikulit akan menyebabkan pasien
merasa gatal-gatal.Pada CKD akan terjadi penurunan fungsi insulin, peningkatan
produksi lipid, gangguan sistem imun, dan gangguan reproduksi. Karena fungsi
insulin menurun, maka gula darah akan meningkat. Peningkatan produksilipid akan
memicu timbulnya aterosklerosis, yang pada akhirnya dapat menyebabkan gagal
jantung. Anemia pada CKD terjadi karena depresi sumsum tulang pada
hiperparatiroidisme sekunder yang akan menurunkan sintesis EPO. Selain itu
anemia dapat terjadi juga karena masa hidup eritrosit yang memendek akibat
pengaruh dari sindrom uremia. Anemia dapat juga terjadi karena malnutrisi.
E.
Manifestasi Klinis
Menurut
Brunner & Suddart (2002) setiap sistem tubuh pada gagal ginjal kronis
dipengaruhi oleh kondisi uremia, maka pasien akan menunjukkan sejumlah tanda
dan gejala. Keparahan tanda dan gejala bergantung pada bagian dan tingkat
kerusakan ginjal, usia pasien dan kondisi yang mendasari. Tanda dan gejala
pasien gagal ginjal kronis adalah sebagai berikut :
a.
Manifestasi
kardiovaskuler
Mencakup hipertensi (akibat retensi cairan dan natrium dari
aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron), pitting edema
(kaki,tangan,sakrum), edema periorbital, Friction rub perikardial,
pembesaran vena leher.
b.
Manifestasi
dermatologi
Warna kulit abu-abu mengkilat, kulit kering, bersisik, pruritus,
ekimosis, kuku tipis dan rapuh, rambut tipis dan kasar.
c.
Manifestasi
Pulmoner
Krekels, sputum kental dan liat, napas dangkal, pernapasan Kussmaul
d.
Manifestasi
Gastrointestinal
Napas berbau amonia, ulserasi dan pendarahan pada mulut, anoreksia,
mual,muntah, konstipasi dan diare, pendarahan saluran gastrointestinal
e.
Manifestasi
Neurologi
Kelemahan dan keletihan, konfusi, disorientasi, kejang, kelemahan
tungkai, panas pada telapak kaki, perubahan perilaku
f.
Manifestasi
Muskuloskeletal
Kram otot, kekuatan otot hilang, fraktur tulang, foot drop
g.
Manifestasi
Reproduktif
Amenore dan atrofi testikuler
F.
Komplikasi
Seperti
penyakit kronis dan lama lainnya, penderita CKD akan mengalami beberapa
komplikasi. Komplikasi dari CKD menurut Smeltzer dan Bare (2001) serta Suwitra
(2006) antara lain adalah :
1. Hiperkalemi
akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, kata bolisme, dan masukan diit
berlebih.
2. Perikarditis,
efusi perikardial, dan tamponad jantung akibat retensi produk sampah uremik dan
dialisis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi
akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin angiotensin
aldosteron.
4. Anemia
akibat penurunan eritropoitin.
5. Penyakit
tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum
yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan peningkatan kadar
alumunium akibat peningkatan nitrogen dan ion anorganik.
6. Uremia
akibat peningkatan kadar uream dalam tubuh.
7. Gagal
jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebihan.
8. Malnutrisi
karena anoreksia, mual, dan muntah.
9. Hiperparatiroid,
Hiperkalemia, dan Hiperfosfatemia.
G.
Pemeriksaan Penunjang
a.
Radiologi
Ditujukan untuk menilai keadaan ginjal dan derajat komplikasi
ginjal.
1. Ultrasonografi ginjal digunakan untuk
menentukan ukuran ginjal dan adanya massa kista, obtruksi pada saluran
perkemihan bagianatas.
2. Biopsi Ginjal dilakukan secara endoskopik
untuk menentukan sel jaringan untuk diagnosis histologis.
3. Endoskopi ginjal dilakukan untuk menentukan
pelvis ginjal.
4. EKG mungkin abnormal menunjukkan
ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa.
b.
Foto Polos
Abdomen
Menilai besar dan bentuk ginjal serta adakah batu atau obstruksi
lain.
c.
Pielografi
Intravena
Menilai sistem pelviokalises dan ureter, beresiko terjadi penurunan
faal ginjal pada usia lanjut, diabetes melitus dan nefropati asam urat.
d.
USG
Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkin ginjal , anatomi
sistem pelviokalises, dan ureter proksimal, kepadatan parenkim ginjal, anatomi
sistem pelviokalises dan ureter proksimal, kandung kemih dan prostat.
e.
Renogram
Menilai fungsi ginjal kanan dan kiri , lokasi gangguan (vaskuler,
parenkhim) serta sisa fungsi ginjal
f.
Pemeriksaan
Radiologi Jantung
Mencari adanya kardiomegali, efusi perikarditis
g.
Pemeriksaan
radiologi Tulang
Mencari osteodistrofi (terutama pada falangks /jari) kalsifikasi
metatastik
h.
Pemeriksaan
radiologi Paru
Mencari uremik lung yang disebabkan karena bendungan.
i.
Pemeriksaan
Pielografi Retrograde
Dilakukan bila dicurigai adanya obstruksi yang reversible
j.
EKG
Untuk melihat kemungkinan adanya hipertrofi ventrikel kiri,
tanda-tanda perikarditis, aritmia karena gangguan elektrolit (hiperkalemia)
k.
Biopsi Ginjal
dilakukan bila terdapat keraguan dalam diagnostik gagal ginjal
kronis atau perlu untuk mengetahui etiologinya.
l.
Pemeriksaan
laboratorium menunjang untuk diagnosis gagal ginjal
1)
Laju endap
darah
2)
Urin
Volume : Biasanya kurang dari 400
ml/jam (oliguria atau urine tidak ada (anuria).
Warna
: Secara normal perubahan urine mungkin disebabkan oleh
pus / nanah, bakteri, lemak, partikel koloid, fosfat, sedimen
kotor, warna kecoklatan menunjukkan adanya darah, miglobin,
dan porfirin.
Berat
Jenis : Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukkan
kerusakan ginjal berat).
Osmolalitas
: Kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan
tubular, amrasio urine / ureum sering 1:1.
3)
Ureum dan
Kreatinin
Biasanya meningkat dalam proporsi.
Kadar kreatinin 10 mg/dL diduga tahap akhir (mungkin rendah yaitu 5).
4)
Hiponatremia
5)
Hiperkalemia
6)
Hipokalsemia
dan hiperfosfatemia
7)
Hipoalbuminemia
dan hipokolesterolemia
8)
Gula darah
tinggi
9)
Hipertrigliserida
10)
Asidosis
metabolik
H.
Penatalaksanaan Medis
Tujuan utama penatalaksanaan pasien GGK adalah untuk mempertahankan
fungsi ginjal yang tersisa dan homeostasis tubuh selama mungkin serta mencegah
atau mengobati komplikasi (Smeltzer, 2001; Rubenstain dkk, 2007). Terapi
konservatif tidak dapat mengobati GGK namun dapat memperlambat progres dari
penyakit ini karena yang dibutuhkan adalah terapi penggantian ginjal baik
dengan dialisis atau transplantasi ginjal.
Lima sasaran dalam manajemen medis GGK meliputi :
1.
Untuk
memelihara fungsi renal dan menunda dialisis dengan cara mengontrol proses
penyakit melalui kontrol tekanan darah (diet, kontrol berat badan dan
obat-obatan) dan mengurangi intake protein (pembatasan protein, menjaga intake
protein sehari-hari dengan nilai biologik tinggi < 50 gr), dan katabolisme
(menyediakan kalori nonprotein yang adekuat untuk mencegah atau mengurangi
katabolisme)
2.
Mengurangi
manifestasi ekstra renal seperti pruritus , neurologik, perubahan hematologi,
penyakit kardiovaskuler;
3.
Meningkatkan
kimiawi tubuh melalui dialisis, obat-obatan dan diet;
4.
Mempromosikan
kualitas hidup pasien dan anggota keluarga
(Black & Hawks, 2005)
Penatalaksanaan konservatif dihentikan bila
pasien sudah memerlukan dialisi tetap atau transplantasi. Pada tahap ini
biasanya GFR sekitar 5-10 ml/mnt. Dialisis juga diiperlukan bila :
·
Asidosis metabolik yang tidak dapat diatasi dengan
obat-obatan
·
Hiperkalemia yang tidak dapat diatasi dengan obat-obatan
·
Overload cairan (edema paru)
·
Ensefalopati uremic, penurunan kesadaran
·
Efusi perikardial
·
Sindrom uremia ( mual,muntah, anoreksia, neuropati) yang
memburuk.
Menurut Sunarya, penatalaksanaan dari CKD berdasarkan derajat LFG nya,
yaitu:
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian Fokus Keperawatan
Pengkajian fokus yang disusun berdasarkan pada Gordon
dan mengacu pada Doenges (2001), serta Carpenito (2006) sebagai berikut :
1.
Demografi.
Penderita
CKD kebanyakan berusia diantara 30 tahun, namun ada juga yang mengalami CKD
dibawah umur tersebut yang diakibatkan oleh berbagai hal seperti proses
pengobatan, penggunaan obat-obatan dan sebagainya. CKD dapat terjadi pada
siapapun, pekerjaan dan lingkungan juga mempunyai peranan penting sebagai
pemicu kejadian CKD. Karena kebiasaan kerja dengan duduk / berdiri yang terlalu
lama dan lingkungan yang tidak
menyediakan cukup air minum / mengandung banyak senyawa/ zat logam dan pola makan yang tidak
sehat.
2.
Riwayat
penyakit yang diderita pasien sebelum CKD seperti DM, glomerulo nefritis,
hipertensi, rematik, hiperparatiroidisme, obstruksi saluran kemih, dan traktus
urinarius bagian bawah juga dapat memicu kemungkinan terjadinya CKD.
3.
Pola
nutrisi dan metabolik.
Gejalanya
adalah pasien tampak lemah, terdapat penurunan BB dalam kurun waktu 6 bulan.
Tandanya adalah anoreksia, mual, muntah, asupan nutrisi dan air naik atau turun.
4.
Pola
eliminasi
Gejalanya
adalah terjadi ketidak seimbangan antara output dan input. Tandanya adalah
penurunan BAK, pasien terjadi konstipasi, terjadi peningkatan suhu dan tekanan
darah atau tidak singkronnya antara tekanan darah dan suhu.
5.
Pengkajian fisik
a. Penampilan
/ keadaan umum.
Lemah, aktifitas dibantu, terjadi
penurunan sensifitas nyeri. Kesadaran
pasien
dari compos mentis sampai coma.
b. Tanda-tanda
vital.
Tekanan darah naik, respirasi riet
naik, dan terjadi dispnea, nadi meningkat
dan reguler.
c. Antropometri.
Penurunan berat badan selama 6
bulan terahir karena kekurangan nutrisi, atau terjadi peningkatan
berat badan karena kelebihan
cairan.
d. Kepala.
Rambut kotor, mata kuning / kotor,
telinga kotor dan terdapat kotoran
telinga,
hidung kotor dan terdapat kotoran hidung,
mulut
bau ureum, bibir
kering dan pecah-pecah, mukosa mulut pucat dan lidah kotor.
e. Leher
dan tenggorok.
Peningkatan kelenjar tiroid,
terdapat pembesaran tiroid pada leher.
f. Dada
Dispnea sampai pada edema pulmonal,
dada berdebar-debar. Terdapat otot bantu napas, pergerakan dada tidak simetris,
terdengar suara tambahan pada paru (rongkhi basah), terdapat pembesaran
jantung, terdapat suara tambahan pada jantung.
g.
Abdomen.
Terjadi peningkatan nyeri, penurunan pristaltik,
turgor jelek, perut buncit.
h.
Genital.
Kelemahan dalam libido, genetalia
kotor, ejakulasi dini, impotensi, terdapat ulkus.
i.
Ekstremitas.
Kelemahan fisik, aktifitas pasien
dibantu, terjadi edema, pengeroposan tulang, dan Capillary Refill lebih dari 1
detik.
j.
Kulit.
Turgor jelek, terjadi edema, kulit
jadi hitam, kulit bersisik dan mengkilat / uremia, dan terjadi perikarditis.
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin
muncul pada CKD adalah sebagai berikut:
1.
Hipervolemia
Definisi
|
Peningkatan
volume cairan
|
Penyebab
|
1. Gangguan mekanisme regulasi
2. Kelebihan asupan cairan
3. Kelebihan asupan natrium
4. Gangguan aliran balik vena
5. Efek agen farmakologis (mis
kostikosteroid, chlorpropamide, tolbutamide,
vincristine)
|
Gejala
dan tanda mayor
|
Subjektif
1. Ortopnea
2. Dispnea
3. Paroxymal nocturnal dyspnea (PND)
Objektif
1. Edema anasarka dan/ edema perifer
2. Berat badan meningkat dalam waktu
singkat
3. Jugular Venous Pressure (JVP) dan
atau Central Venous Pressure meningkat
4. Refleks hepatojugular positif
|
Gejala
dan tanda minor
|
Subjektif: -
Objektif
1. Distensi vena jugularis
2. Terdengar suara napas tambahan
3. Hepatomegali
4. Kadar Hb / Ht menurun
5. Oliguria
6. Intake lebih banyak dari output
(balance cairan positif)
7. Kongesti paru
|
SDKI 2016, hal 62
2.
Resiko
perfusi renal tidak efektif
Definisi
|
Beresiko
mengalami penurunan sirkulasi darah ke ginjal
|
Faktor
resiko
|
1. Kekurangan volume cairan
2. Embolisme vaskuler
3. Vaskulitis
4. Hipertensi
5. Disfungsi ginjal
6. Hiperglikemia
7. Keganasan
8. Pembedahan jantung
9. Hipoksemia
10. Hipoksia
11. Asidosis metabolik
12. Trauma
13. Luka bakar
14. Sepsis
15. Lanjut usia
16. Merokok
17. Penyalahgunaan zat
|
SDKI 2016, hal 49
3.
Intoleransi
aktivitas
Definisi
|
Ketidakcukupan
energi untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
|
Penyebab
|
1. Ketidakseimbangan
antara suplai dan kebutuhan oksigen
2. Tirah
baring
3. Kelemahan
4. Imobilitas
5. Gaya
hidup monoton
|
Gejala
dan tanda mayor
|
Subjektif
:
1. Mengeluh
lelah
Objektif
:
1. Frekuensi
jantung meningkat >20% dari kondisi istirahat
|
Gejala
dan tanda minor
|
Subjektif
:
1. Dispnea
saat/setelah aktivitas
2. Merasa
tidak nyaman setelah beraktivitas
3. Merasa
lemah
Objektif
:
1. Tekanan
darah berubah > 20% dari kondisi istirahat
2. Gambaran
EKG menunjukkan aritmia setelah aktivitas
3. Gambaran
EKG menunjukkan iskemia
4. Sianosis
|
4.
Gangguan
pertukaran gas
Definisi
|
Kelebihan
atau kekurangan oksigenasi dan/ eliminasi karbondioksida pada membran
alveolus-kapiler
|
Penyebab
|
1. Ketidakseimbangan
ventilasi-perfusi
2. Perubahan membran alveolus-kapiler
|
Gejala
dan tanda mayor
|
Subjektif
1. Dispnea
Objektif
1. PCO2 meningkat/menurun
2. PO2 menurun
3. Takikardia
4. pH arteri meningkat atau menurun
5. Bunyi napas tambahan
|
Gejala
dan tanda minor
|
Subjektif
1. Pusing
2. Penglihatan kabur
Objektif
1. Sianosis
2. Diaforesis
3. Gelisah
4. Napas cuping hidung
5. Pola napas abnormal
6. Warna kulit abnormal
7. Kesadaran menurun
|
SDKI 2016, hal 22
5.
Keletihan
Definisi
|
Penurunan
kapasitas kerja fisik dan mental yang tidak pulih dengan istirahat
|
Penyebab
|
1. Gangguan tidur
2. Gaya hidup monoton
3. Kondisi fisiologis (mis penyakit
kronis, penyakit terminal, anemia, malnutrisi, kehamilan)
4. Program perawatan/pengobatan
jangka panjang
5. Peristiwa hidup negatif
6. Stress berlebihan
7. Depresi
|
Gejala
dan tanda mayor
|
Subjektif
1. Merasa energi tidak pulih walaupun
telah tidur
2. Merasa kurang tenaga
3. Mengeluh lelah
Objektif
1. Tidak mampu mempertahankan
aktivitas rutin
2. Tampak lesu
|
Gejala
dan tanda minor
|
Subjektif
1. Merasa bersalah akibat tidak mampu
menjalankan tanggung jawab
2. Libido menurun
Objektif
1. Kebutuhan istirahat meningkat
|
SDKI
2016, hal 130
6.
Defisit
nutrisi
Definisi
|
Asupan nutrisi
tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme.
|
Penyebab
|
1. Ketidakmampuan menelan makanan.
2. Ketidakmampuan mencerna makanan.
3. Ketidakmampuan mengabsorpsi nutrien.
4. Peningkatan kebutuhan metabolisme.
5. Faktor ekonomi (mis. finansial tidak mencukupi).
6. Faktor psikologis (mis. stres, keengganan untuk
makan)
|
Gejala dan
tanda mayor
|
Subjektif : -
Objektif :
1. Berat badan menurun minimal 10% di bawah rentang
ideal.
|
Gejala dan
tanda minor
|
Subjektif :
1.
Cepat kenyang
setelah makan.
2.
Kram/nyeri
abdomen.
3.
Nafsu makan
menurun.
Objektif :
1.
Bising usus
hiperaktif.
2.
Otot pengunyah
lemah.
3.
Otot menelan
lemah.
4.
Membran mukosa
pucat.
5.
Sariawan.
6.
Serum albumin
turun.
7.
Rambut rontok
berlebihan.
8.
Diare.
|
SDKI 2018, hal 56
C.
Intervensi
1.
Hipervolemia
Manajemen
hipervolemia
Observasi
|
1.
Periksa
tanda dan gejala hipervolemia (mis ortopnea, dispnea, edema, JVP/CVP
meningkat, suara napas tambahan)
2.
Identifikasi
penyebab hipervolemia
3.
Monitor
status hemodinamik (mis frekuensi jantung, TD, CVP)
4.
Monitor
intake dan output cairan
5.
Monitor
tanda hemokonsentrasi (mis kadar natrium, BUN, hematokrit, berat jenis urin)
6.
Monitor
tanda peningkatan tekanan onkotik plasma (mis kadar protein dan albumin
meningkat)
7.
Monitor
kecepatan infus secara ketat
8.
Monitor
efek samping diuretik ( mis hipotensi ortortostatik, hipovolemia,
hipokalemia, hiponatremia)
|
Terapeutik
|
1. Timbang berat badan setiap hari
pada waktu yang sama
2. Batasi asupan cairan dan garam
3. Tinggikan kepala tempat tidur
30-4- derajat
|
Edukasi
|
1. Anjurkan melaporkan jika haluaran
urin <0,5 Ml/kg/jam dalam 6 jam
2. Anjurkan melapor jika BB bertambah
> 1 kg dalam sehari
3. Ajarkan cara mengukur dan mencatat
asupan dan haluaran cairan
4. Ajarkan cara membatasi cairan
|
Terapeutik
|
1. Kolaborasi pemberian diuretik
2. Kolaborasi penggantian kehilangan
kalium akibat diuretik
|
SIKI
2018, hal 181
2.
Resiko
perfusi renal tidak efektif
Manajemen
Syok
Observasi
|
1. Monitor status kardiopulmonal
(frekuensi dan kekuatan nadi, frekuensi napas, TD)\monitor status oksigenasi
(oksimetri nadi, AGD)
2. Monitor status cairan (masukan dan
haluaran, turgor kulit, CRT)
3. Monitor tingkat kesadaran dan
respon pupil
4. Periksa riwayat alergi
|
Terapeutik
|
1. Berikan oksigenasi untuk
mempertahankan saturasi oksigen >94%
2. Persiapkan intubasi dan ventilasi mekanis
3. Pasang jalur IV
4. Pasang kateter urin untuk menilai
produksi urin
5. Lakukan skin test untuk mencegah
infeksi alergi
|
Edukasi
|
1.
Jelaskan
penyebab atau faktor resiko syok
2.
Jelaskan
tanda dan gejala awal syok
3.
Anjurkan
melapor jika menemukan / merasakan tanda dan gejala awal syok
4.
Anjurkan
memperbanyak asupan cairan oral
5.
Anjurkan
menghindari alergen
|
Kolaborasi
|
1.
Kolaborasi
pemberian IV
2.
Kolaborasi
pemberian transfusi darah
3.
Kolaborasi
pemberian antiinflamasi
|
SIKI 2018, hal 286
3.
Intoleransi
aktivitas
Manajemen
Energi
Observasi
|
1. Identifikasi
gangguan fungsi tubuh yang mengalami kelelahan
2. Monitor
kelelahan fisik dan emosional
3. Monitor
pola dan jam tidur
4. Monitor
lokasi dan ketidaknyamanan selama melakukan aktivitas
|
Terapeutik
|
1. Sediakan
lingkungan nyaman dan rendah stimulus (mis. Cahaya, suara, kunjungan)
2. Lakukan
latihan rentang gerak pasif dan/ aktif
3. Berikan
aktivitas distraksi dan menenangkan
4. Fasilitasi
duduk di sisi tempat tidur, jika tidak dapat berpindah atau berjalan
|
Edukasi
|
1. Anjurkan
tirah baring
2. Anjurkan
melakukan aktivitas secara bertahap
3. Anjurkan
menghubungi perawat jika tanda dan gejala kelelahan tidak berkurang
4. Ajarkan
strategi koping untuk mengurangi kelelahan
|
Kolaborasi
|
Kolaborasi dengan ahli gizi tentang
cara meningkatkan asupan makanan
|
SIKI
2018, hal 176
4.
Gangguan
pertukaran gas
Pemantauan
Respirasi
Observasi
|
1. Monitor frekuensi, irama,
kedalaman, dan upaya napas
2. Monitor pola napas (mis bradipnea,
takipnea, hiperventilasi, kussmaul)
3. Monitor kemampuan batuk efektif
4. Monitor adanya produksi sputum
5. Monitor adanya sumbatan jalan
napas
6. Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
7. Auskultasi bunyi napas
8. Monitor saturasi oksigen
9. Monitor nilai AGD
10.
Monitor
hasil x-ray thoraks
|
Terapeutik
|
1. Atur interval pemantauan respirasi
sesuai kondisi pasien
2. Dokumentasi hasil pemantauan
|
Edukasi
|
1. Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan
2. Informasikan hasil pemantauan
|
SIKI 2018, hal 247
5.
Keletihan
Manajemen
Energi
Observasi
|
1. Identifikasi gangguan fungsi tubuh
yang mengakibatkan kelelahan
2. Monitor kelelahan fisik dan
emosional
3. Monito pola dan jam tidur
4. Monitor lokasi dan ketidaknyamanan
selama melakukan aktivitas
|
Terapeutik
|
1. Sediakan lingkungan nyaman dan
rendah stimulus (mis cahaya, suara, kunjungan)
2. Lakukan gerakan rentang
pasif/aktif
3. Berikan aktivitas distraksi yang
menenangkan
4. Fasilitasi duduk disisi tempat
tidur, jika tidak dapat berpindah atau berjalan
|
Edukasi
|
1. Anjurkan tirah baring
2. Anjurkan melakukan aktivitas
secara bertahap
3. Anjurkan menghubungi perawat jika
tanda dan gejala keletihan tidak berkurang
4. Ajarkan strategi koping untuk
mengurangi kelelahan
|
Kolaborasi
|
1. Kolaborasi dengan ahli gizi
tentang cara meningkatkan asupan makanan
|
SIKI 2018, hal 176
6.
Defisit nutrisi
Manajemen
nutrisi
Observasi
|
1. Identifikasi
status nutrisi
2. Identifikasi
alergi dan intoleransi makanan
3. Identifikasi
makanan yang disukai
4. Identifikasi
kebutuhan kalori dan jenis nutrien
5. Identifikasi
perlunya penggunaan nasogastrik
6. Monitor
asupan makanan
7. Monitor
berat badan
8. Monitor
hasil pemeriksaan laboratorium
|
Terapeutik
|
1. Lakukan
oral hygiene sebelum makan, jika
perlu
2. Fasilitasi
menentukan pedomandiet
3. Sajikan
makanan secara menarik dan suhu yang sesuai
4. Berikan
makanan tinggi serat untuk mencegah konstipasi
5. Berikan
makanan tinggi kalori dan tinggi protein
6. Berikan
suplemen makanan
7. Hentikan
pemberian makan lewat selang jika asupan oral dapat ditoleransi
|
Edukasi
|
1. Anjurkan
posisi duduk, jika mampu
2. Ajarkan
diet yang diprogramkan
|
Kolaborasi
|
1. Kolaborasi
pemberian medikasi sebelum makan (mis pereda nyeri, antlemetik)
2. Kolaborasi
dengan ahli gizi menentukan jumlah kalori dan jenis nutrien yang dibutuhkan.
|
SIKI 2018, hal 200
DAFTAR PUSTAKA
Herdinan,
Heather T. Diagnosis Keperawatan NANDA: Definisi dan Klasifikasi 2012-2014. Jakarta:
EGC. 2012.
Nurarif,
Amin Huda dan Hardhi Kusuma. 2015.Aplikasi
Nanda Nic Noc Jilid 2.Yogyakarta: MediAction
Price,
Sylvia A. & Lorraine M. Wilson. Patofisiologi
: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta : EGC.
2002
Smeltzer,
S. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddarth. Volume 2 Edisi
8. Jakarta : EGC. 2001
Sudoyo. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta
: Balai Penerbit FKUI. 2006
Tim Pokja SDKI
DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia.
Jakarta: DPP PPNI.
Tim Pokja SIKI
DPP PPNI. 2019. Standar Intervensi
Keperawatan Indonesia. Jakarta:
DPP PPNI.
Tim Pokja SLKI
DPP PPNI. 2019. Standar Luarani
Keperawatan Indonesia. Jakarta:
DPP PPNI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar