Sabtu, 12 November 2016

Epidemiologi : Proporsi, Rate, Rasio - Hubungan Insidensi dan Prevalensi


1.    Proporsi
Ukuran proporsi biasanya digunakan untuk melihat komposisi suatu variabel dalam suatu populasi. Proporsi merupakan perbandingan dimana pembilang merupakan bagian dari penyebut.

Rumus : 
    X         dimana : X = Bagian yang terhitung proporsinya
(X+Y)                   (X+Y) = Total Keseluruhan data

2.    

 Rate
Rate adalah perbandingan suatu kejadian dengan jumlah penduduk yang mempunyai risiko kejadian tersebut. Rate digunakan untuk menyatakan dinamika dan kecepatan kejadian tertentu dalam masyarakat. Rate juga Merupakan bentuk lain dari proporsi dimana ada hubunganantara pembilang dan penyebut, disamping ada elemen waktuyang merupakan bagian intrinsik dari penyebut.

Rumus Rate :
   X  x K     dimana : X = Angka Kejadian
   Y                            Y = Populasi Beresiko
                                 K = Konstanta (angka kelipatan dari 10)


3.    Rasio
Merupakan istilah yang sangt umum. Rasio dapat diterjemahkan sebagai “dibanding dengan”. Jadi rasio merupakan perbandingan antara 2 kuantitas, yaitu kuantitas pembilang (numerator), dan kuantitas penyebut. Kedua pembanding itu tidak harus memiliki ciri-ciri/sifat yang sama. Ada juga yang menyebutkan bahwa rasio adalah frekuensi relatif dari suatu sifat tertentu dibandingkan dengan frekuensi dari sifat yang lain.

4.      Hubungan Insidensi dan prevalensi
·                     Angka insiden menurun, prevalen tetap
Karena :
-          Rasio peyembuhan meningkat
-          Rasio kematian meningkat sehingga masa sakit menurun
→ upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit kurang berhasil
·                     Angka insiden menurun, angka prevalen tetap naik
Karena :
-          Angka kesembuhan dan kematian menurun
-          Lama sakit bertambah
→upaya pencegahan cukup berhasil walaupun penyembuhan penderita kurang berhasil
→ upaya pencegahan > lebih efektif seperti vaksin
·                     Angka insiden dan prevalen menurun
Karena :
-            Keberhasilan pencegahan
-            Menurunnya faktor resiko
-            Angka kematian & kesembuhan tetap




Minggu, 23 Oktober 2016

Pemeriksaan Glasgow Coma Scale

1. Menguji tingkat kesadaran  
a. secara kualitatif  
1. ComposMentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya. 
2. Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.
 3. Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal. 
4. Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal. 
5. Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon terhadap nyeri. 
6. Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek muntah, mungkin juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya).  

b. Secara Kuantitatif dengan GCS ( Glasgow Coma Scale ) 

1. Menilai respon membuka mata (E) 
(4) : spontan
(3) : dengan rangsang suara (suruh pasien membuka mata). 
(2) : dengan rangsang nyeri (berikan rangsangan nyeri, misalnya menekan kuku jari) 
(1) : tidak ada respon 

2. Menilai respon Verbal/respon Bicara (V) 
(5) : orientasi baik 
(4) : bingung, berbicara mengacau ( sering bertanya berulang-ulang ) disorientasi tempat dan waktu. (3) : kata-kata saja (berbicara tidak jelas, tapi kata-kata masih jelas, namun tidak dalam satu kalimat. Misalnya “aduh…, bapak…”) 
(2) : suara tanpa arti (mengerang) 
(1) : tidak ada respon 
3. Menilai respon motorik (M) 

(6) : mengikuti perintah 
(5) : melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus saat diberi rangsang nyeri) 
(4) : withdraws (menghindar / menarik extremitas atau tubuh menjauhi stimulus saat diberi rangsang nyeri) 
(3) : flexi abnormal (tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas dada & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri). 
(2) : extensi abnormal (tangan satu atau keduanya extensi di sisi tubuh, dengan jari mengepal & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri). 
(1) : tidak ada respon

Jumat, 23 September 2016

Kenapa MANUSIA lahir di DUNIA ?

       Kenapa Manusia Harus Lahir Ke Dunia

bayi lucu
Kenapa sih manusia harus lahir ke dunia? Banyak ragam jawaban bisa diberikan. Sejak dari pemahaman awam, psikolog bahkan ahli filsafat semua bisa kita tampilkan. Tuhan "yang paling bertanggungjawab" atas masalah ini memberikan penjelasan dalam Quran Surah Al Insan (manusia) ayat 1-2.  Kita simak uraian berikut.

Manusia Lahir Untuk Diuji

Menyimak perkembangan janin di dalam rahim, pada mulanya manusia dahulu benar-benar bukan apa-apa. Kemudian seorang bayi tumbuh, kemudian lahir sebagai manusia yang memiliki pendengaran(hearing) dan penglihatan(sight). Jauh berbeda dari hewan yang juga memiliki telinga (ear) dan mata (eye), seorang bayi manusia kelak akan tumbuh bersamaan dengan berkembangnya kemampuan mendengar dan melihat, hingga bisa berbicara, menyikapi dan  mengkomunikaskan apa dia dengar dan dia lihat. Kemudian Tuhan menurunkan "sesuatu" yang bisa didengar dan dilihat manusia. Apakah dia mau menggunakan pendengarannya dengan benar sehingga bisa memahami apa yang diturunkan Tuhan kemudian mengikutinya? Apakah dia mau menggunakan penglihatannya dengan benar untuk memperhatikan tanda tanda kekuasaan Tuhan dalam dirinya dan alam semesta serta apa yang ada dalam "sesuatu yang diturunkan Tuhan itu, kemudian mau mengikuti apa yang dianjurkan oleh Tuhan serta mau menjauhi apa yang di larang oleh Tuhan? Awal Surah Al Insan (Surah ke 76) memberikan penekanan sebagai berikut:

Bukankah telah datang atas manusia, suatu masa, ketika dia belum merupakan sesuatu yang bisa disebut
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia itu dari nuthfah yang bercampur. Kami hendak mengujinya maka kami jadikan dia bisa mendengar dan melihat


Kemampuan mendengar dan melihat yang dikaruniakan Tuhan atas manusia merupakan "modal" utama untuk bisa melewati ujian dengan benar.

Kamis, 22 September 2016

Kumpulan foto dan biodata SONG JOONG KI - DOTS


Yang ngefans ama korea pasti kenal deh sama aktor sekaligus model yang satu ini. Pria imut kelahiran 1985 ini berhasil memikat hati banyak wanita dengan film yang dibintanginya baru-baru ini, apalagi kalau bukan film DOTS. Yang gemar korea pasti deh tahu sama film ini. 
Hm, kali ini yuuk kita ngintip sebentar  profil dari si ganteng Song Joong Ki :)
Ada juga foto-fotonya yang di jamin buat kalian gak bosen-bosen liatnya.
hehe ..... 

Nama Song Joong Ki
Profesi : Aktor, MC, model
Tanggal Lahir : 19 September 1985
Tempat Lahir : Korea Selatan
Bintang : Virgo
Golongan Darah : A
Agensi : SidusHQ
Pendidikan : SD St Mary di Daejeon, Middle School La Hanbat, High School Antarctica, Business Administration, Sungkyunkwan University
Twitter : @SongJoongKi












Rabu, 07 September 2016

DEFINISI SEHAT MENURUT PARA AHLI

A.    DEFINISI SEHAT
Berikut ini akan dikemukakan definisi sehat menurut beberapa ahli:
1)      Menurut WHO, Sehat adalah keadaan keseimbangan yang sempurna, baik fisik, mental, dan sosial, tidak hanya bebas dari penyakit dan kelemahan.
2)      Pepkins, mendefinisikan sehat sebagai keadaan keseimbangan yang dinamis dari badan dan fungsi-fungsinya sebagai hasil penyesuaian yang dinamis terhadap kekuatan-kekuatan yang cenderung menggangunya. Badan seseorang bekerja secara aktif untuk mempertahankan diri agar tetap sehat sehingga kesehatan selalu harus dipertahankan.
3)      Paune (1983), mengatakan sehat adalah fungsi efektif dari sumber-sumber perawatan diri (self care resources) yang menjamin tindakan untuk perawatan diri ( self care actions) secara adekuat. Self care resources : mencakup pengetahuan, keterampilan dan sikap. Self care actions merupakan perilaku yang sesuai dengan tujuan diperlukan untuk memperoleh, mempertahankan dan meningkatkan fungsi psikososial dan spiritual.
4)      Pender (1982), sehat adalah perwujudan individu yang diperoleh melalui kepuasan dalam berhubungan dengan orang lain (aktualisasi). Perilaku yang sesuai dengan tujuan, perawatan diri yang kompeten sedangkan penyesuaian diperlukan untuk mempertahankan stabilitas dan integritas struktural.
5)      Konsep sehat, yang dikemukakan oleh Linda Ewles & Ina Simmet (1992), yang dikutip oleh A.E. Dumatubun dalam Jurnal Antropologi Papua 2002, seperti berikut:1.  Konsep sehat dilihat dari segi jasmani, yaitu dimensi sehat yang paling nyata karena perhatiannya pada fungsi mekanisme tubuh.2.  Konsep sehat dari segi mental, yaitu kemampuan berpikir dengan jernih dan koheren. Istilah mental dibedakan dengan emosional dan sosial walaupun ada hubungan yang dekat di antara ketiganya.3.  Konsep sehat dilihat dari segi emosional, yaitu kemampuan untuk mengenal emosi seperti takut, kenikmatan, kedukaan, dan kemarahan, dan untuk mengekspresikan emosi-emosi secara cepat.4.  Sehat dilihat dari segi sosial, berarti kemampuan untuk membuat dan mempertahankan hubungan dengan orang lain.5.  Konsep sehat dilihat dari aspek spiritual, yaitu berkaitan dengan kepercayaan dan praktek keagamaan, berkaitan dengan perbuatan baik secara pribadi, prinsip-prinsip tingkah laku, dan cara mencapai kedamaian dan merasa damai dalam kesendirian.6. Konsep sehat dilihat dari segi societal, yaitu berkaitan dengan kesehatan pada tingkat individual yang terjadi karena kondisi-kondisi sosial, politik, ekonomi dan budaya yang melingkupi individu tersebut. Adalah tidak mungkin menjadi sehat  dalam masyarakat yang “sakit” yang tidak dapat menyediakan sumber-sumber untuk pemenuhan kebutuhan dasar  dan emosional.
6)      Larry Green & para koleganya, menulis bahwa pendidikankesehatan adalah kombinasi pengalaman belajar yang dirancang untuk mempermudah adaptasi sukarela terhadap perilaku yang kondusif bagi kesehatan.
7)      Neuman, sehat adalah suatu keseimbangan bio-psiko-sosio-kultural dan spiritual pada tiga garis pertahanan klien yaitu fleksibel, normal, dan resisten.
8)      Menurut UU No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan, menyatakan bahwa sehat adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Dalam pengertian ini maka kesehatan harus dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh terdiri dari unsur-unsur fisik, mental dan sosial dan di dalamnya kesehatan jiwa merupakan bagian integral kesehatan

9)      Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam musyawarah Nasional Ulama tahun 1983, merumuskan kesehatan sebagai ketahanan ‘jasmaniah, ruhaniyah, dan sosial’ yang dimiliki manusia sebagai karunia Allah yang wajib disyukuri dengan mengamalkan tuntunan-Nya, dan memelihara serta mengembangkannya.

Selasa, 14 Juni 2016

Niat Sunnah Tarawih


Terlengkap Niat Puasa, Niat Sholat Tarawih, Niat Buka Puasa, niat sholat witir Disertai dengan artinya dan huruf latin. Serta segala info tentang Ramadan tahun ini akan anda dapatkan disini.

Niat dalam islam adalah sesuatu yang sangat utama. Terlebih juga dalam niat / doa puasa maupun saat buka puasa dibulan Ramadhan ini. Kami juga sediakan artinya dan versi huruf latin nya agar semakin memudahkan teman-teman semuanya. Marhaban ya Ramadhan, sebuah bulan yang selalu ditunggu-tunggu oleh jutaan umat muslim dibelahan penjuru dunia. Tak terkecuali saya pribadi. Dalam islam, salah satu hal yang istimewa dan hanya dimiliki umat Muhammad SAW adalah adanya ampunan dari Allah SWT di bulan ini yang luasnya sangat dahsyat. Beruntunglah kita sebagai umat Nabi SAW. Smestinyalah kita bersyukur dan terus berbenah dalam upaya mendekatkan diri padanya. Terus memperbaiki segala kekurangan dan menjauhi segala dosa dan kehinaan yang mungkin saja selama ini masih sering kita lakukan.

Sebagai umat muslim, tentu di bulan penuh berkah ini kita harus menggunakannya sebaik mungkin untuk memupuk amal sholeh dan meningkatkan ketaqwaan diri secara maksimal. Bulan puasa yang penuh cahaya ampunan tidak boleh dibiarkan lalu begitu saja. Bagi teman-teman yang lupa atau mungkin belum tahu tentang niat puasa dan niat berbuka puasa, kami hadirkan lagi dibawah ini dan semoga anda bisa menghapalnya dengan sempurna ya. Semoga ibadah kita diterima Allah SWT dan segala dosa yang pernah diperbuat diampuniNya. Semoga Dalam ramadhan kali ini kita lebih bisa memaknainya dengan sempurna.

Do'a Niat Puasa
نـَوَيْتُ صَوْمَ غـَدٍ عَـنْ ا َدَاءِ فـَرْضِ شـَهْرِ رَمـَضَانَ هـَذِهِ السَّـنـَةِ لِلـّهِ تـَعَالى

"Nawaitu sauma ghadin an'adai fardi syahri ramadhana hadzihisanati lillahita'ala" 

Artinya: "Sengaja aku berpuasa esok hari untuk menunaikan fardhu puasa pada bulan Ramadhan bagi tahun ini karena Allah Taala"

Niat Buka Puasa
اللّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْت بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّحِمِيْنَ

"Allahummalakasumtu wabika aamantu wa'alarizqika afthortu birohmatikaya ar-hamarrahimin"

Artinya: Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa dan dengan rizki-Mu aku berbuka, Maha besar Allah yang maha pemurah lagi maha penyayang.

Dibawah ini akan kami sajikan kepada anda niat sholat sunnah yaitu sholat tarawih dan witir yang biasanya menjadi rutinitas disaat bulan puasa. Semoga bermanfaat ya.

¤ Lafaz niat shalat tarawih dan shalat Witir
a. lafaz niat shalat tarawih

ﺃُﺻَﻠِّﻲْ ﺳُﻨَّﺔَ ﺍﻟﺘَّﺮَﺍﻭِﻳْﺢِ ﺭَﻛْﻌَﺘَﻴْﻦِ ﻣُﺴْﺘَﻘْﺒِﻞَ ﺍﻟْﻘِﺒْﻠَﺔِ
ﻣَﺄْﻣُﻮْﻣًﺎ ﻟِﻠﻪِ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ

Artinya: Saya niat sholat tarawih dua
rokaat dengan menghadap qiblat menjadi
mamum karena Allah ta’ala.

Latin : Usholli sunnatattarawihi rak’ataini
mustaqbilalqiblati ma-muman lillahi ta’ala

b. Lafaz niat shalat Witir 2 rakaat

ﺃُﺻَﻠِّﻲْ ﺳُﻨَّﺔَ ﺍﻟْﻮِﺗْﺮِ ﺭَﻛْﻌَﺘَﻴْﻦِ ﻣُﺴْﺘَﻘْﺒِﻞَ ﺍﻟْﻘِﺒْﻠَﺔِ
ﻣَﺄْﻣُﻮْﻣًﺎ ﻟِﻠﻪِ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ

Artinya: Saya niat sholat witir dua rokaat
dengan menghadap qiblat menjadi
mamum karena Allah ta’ala.

Latin : Usholli sunnatal witri rak’ataini
mustaqbilalqiblati ma-muman lillahi ta’ala

c. Lafaz niat shalat Witir 1 rakaat

ﺃُﺻَﻠِّﻲْ ﺳُﻨَّﺔَ ﺍﻟْﻮِﺗْﺮِ ﺭَﻛْﻌَﺔً ﻣُﺴْﺘَﻘْﺒِﻞَ ﺍﻟْﻘِﺒْﻠَﺔِ ﻣَﺄْﻣُﻮْﻣًﺎ
ﻟِﻠﻪِ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ

Artinya: Saya niat sholat witir satu
rokaat dengan menghadap qiblat menjadi
mamum karena Allah ta’ala.

Latin : Usholli sunnatal witri rak’atan
mustaqbilalqiblati ma-muman lillahi ta’ala

d. Lafaz niat shalat Witir 3 rakaat

ﺃُﺻَﻠِّﻲْ ﺳُﻨَّﺔَ ﺍﻟْﻮِﺗْﺮِ ﺛَﻠَﺎﺙَ ﺭَﻛَﻌَﺎﺕٍ ﻣُﺴْﺘَﻘْﺒِﻞَ
ﺍﻟْﻘِﺒْﻠَﺔِ ﻣَﺄْﻣُﻮْﻣًﺎ ﻟِﻠﻪِ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ

Artinya: Saya niat sholat witir tiga rokaat dengan menghadap qiblat menjadi
mamum karena Allah ta’ala.

Latin : Usholli sunnatal witri tsalatsa raka’atin
mustaqbilalqiblati ma-muman lillahi ta’ala

Teruslah berupaya dalam meningkatkan amal sholeh. Agar kita menjadi orang-orang pilihan yang dalam kasih sayangNya dan selalu mendapat berkah berlimpah dariNya. Kita makhluk penuh dosa dan alfa, kita manusia yang seringkali kufur nikmat. Kita terlalu naif dalam banyak hal dan terkadang kita melalaikan kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkanNya. Berapa kali kita melanggar apa yang telah dilarangNya, Berapa kali kita terlalu enggan menyembahNya.

Sudah terlalu banyak kesalahan-kesalahan yang kita perbuat. Bulan ini adalah sebuah titik balik untuk memupus semua noda. Saat inilah kita harus menjadikan diri lebih lagi dalam mentaatiNya. Saat inilah sebuah kontemplasi lahir bathin harus kita jadikan fondasi untuk terus taat padaNya. Taubat sesungguhnya adalah sebuah jalan suci yang mesti dilalui. Jangan lagi enggan ketika dipanggil menghadapNya. Jangan lagi malas ketika cahayaNya menyinari lubuk hati.

Demikianlah sebuah alunan singkat tentang Niat puasa dan juga niat berbuka puasa serta niat sholat tarawih dan witir yang sesuai sunnah dan tuntunan Nabi SAW.

Sabtu, 04 Juni 2016

Hukum mengorek telinga dan ngupil saat berpuasa, WAJIB TAHU !


Puasa adalah salah satu ibadah yang memiliki keutamaan dalam islam. Dimana umat islam diajarkan untuk melatih diri melalui ibadah puasa. Baik pelatihan diri yang berupa lahir, seperti menahan dahaga dan lapar, maupun latihan yang bersifat batin, seperti menjaga hawa nafsu dan menghindarkan hati dari sifat-sifat tercela.

Diantara yang membatalkan puasa adalah masuknya sesuatu benda kedalam tubuh kita secara disengaja.

Pertanyaan
Apabila kita sedang menjalani ibadah puasa, lantas kita ngupil (mengkorek hidung) atau mengkorek telinga, bagaimana status hukumnya? Batalkah puasa kita?

Pembahasan
Pada dasarnya puasa bisa menjadi batal apabila ada sesuatu yang masuk kedalam tubuh kita melalui lubang-lubang pada tubuh semisal mulut, hidung, telinga, anus, maupun kemaluan. Dan kaitannya dengan ngupil ataupun korek kuping, ini yang mesti kita perhatikan.

Dalam hal ini, ngupil dibedakan menjadi dua. Ada yang masih dalam tahap bisa, yakni ngupil yang tidak sampai ke dalam rongga hidung, ini tidak membatalkan puasa. Ada pula ngupil yang terlalu dalam hingga benda yang dimasukan ke hidung masuk pada bagian rongga hidung. Maka hal ini membatalkan puasa apabila dilakukan dengan sadar dan disengaja. Sebab bila kita ngupil atau korek kuping dalam keadaan tidak sadar dan tidak disengaja maka hal ini tidak menjadi persoalan.

Beberapa ulama yang membahas tentang ini adalah Syaikh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibary dalam kitabnya, Fath al-Mu’in:

(و) يفطر (بدخول عين) وإن قلت إلى ما يسمى (جوفا): أي جوف من مر
Artinya: "Batal puasa disebabkan masuknya benda ‘ain (yang jelas, dapat dilihat) sekalipun hanya sedikit kedalam (bagian) yang disebut Jauf; rongga dalam"


Syeikh Taqiyuddin Abu Bakar Al-Husaini juga berkata  dalam kitabnya, Kifayatul Akhyar (Hlm. 286, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut):
واعلم أنه لا بد للصائم من الإمساك عن المفطرات وهو أنواع : منها الأكل والشرب وإن قل عند العمد وكذا ما في معنى الأكل والضابط أنه يفطر بكل عين وصلت من الظاهر إلى الباطن في منفذ مفتوح عن قصد مع ذكر الصوم وشرط الباطن أن يكون جوفا وإن كان لا يحيل وهذا هو الصحيح
Artinya: "Ketahuilah, seyogyanya orang yang berpuasa itu menahan dirinya dari segala sesuatu yang dapat membatalkan. Dan itu bermacam-macam, diantaranya adalah makan dan minum dengan segaja walaupun sedikit. Begitupun dengan perkara yang dimaknai makan. Kesimpulannya, puasa menjadi batal dengan masuknya suatu benda, dari luar badan ke dalam badan, melalui lubang yang terbuka, dengan sengaja, dan sedar akan puasanya. Syarat sesuatu disebut 'bagian dalam badan” ialah ada dalam Jauf (rongga dalam). Walapun benda yang masuk tak berubah warna dan demikianlah yang sahih."

Allah SWT berfirman:

فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
Artinya: “Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS Al-Baqarah: 187)

 Ayat diatas menjadi qiyas bagi ulama syafi'iyah untuk landasan hukum. Dimana mengkorek hidung selagi tidak dalam (tidak masuk rongga) adalah tidak membatalkan puasa. Namun sebaliknya apabila melakukan korek hidung maupun korek kuping apabila dilakukan terlalu dalam (sampai rongga) maka membatalkan puasa.

Beberapa ibarat dalam kitab kuning lainnya yang bisa dijadikan rujukan:

Syaikh Ibn Rusydi menjelaskan di dalam kitabnya, Bidayat al-Mujtahid:

واختلفوا من ذلك في مسائل منها مسكوت عنها ومنها منطوق بها أما المسكوت عنها : إحداها فيما يرد الجوف مما ليس بمغذ وفيما يرد الجوف من غير منفذ الطعام والشراب مثل الحقنة وفيما يرد باطن سائر الأعضاء ولا يرد الجوف مثل أن يرد الدماغ ولا يرد المعدة . وسبب اختلافهم في هذه هو قياس المغذي على غير المغذي وذلك أن المنطوق به إنما هو المغذي فمن رأى أن المقصود بالصوم معنى معقول لم يلحق المغذي بغير المغذي ومن رأى أنها عبادة غير معقولة وأن المقصود منها إنما هو الإمساك فقط عما يرد الجوف سوى بين المغذي وغير المغذي وتحصيل

Syaikh Abu Ishaq Al-Syirazi berkata di dalam kitabnya, Al-Muhadzdzab (Hlm. 586-587, Dar al-Ma’rifat, Beirut):

ولا فرق بين أن يأكل ما يؤكل أو ما لا يؤكل فان استف ترابا وابتلع حصاة أو درهما أو دينارا بطل صومه لأن الصوم هو الإمساك عن كل ما يصل إلى الجوف وهذا ما أمسك ولهذا يقال : فلان يأكل الطين ويأكل الحجر ولأنه إذا بطل الصوم بما يصل إلى الجوف مما ليس يؤكل كالسعوط والحقنة وجب أيضا أن يبطل بما يصل مما ليس بمأكول

Kesimpulan
Puasa batal dengan sebab ngupil atau korek telinga terlalu dalam dan dilakukan dengan sadar dan disengaja. Batasan dalam untuk hidung adalah rongga hidung.

Wallohu a'lam

Selasa, 17 Mei 2016

Yang wanita, WAJIB KENALI ISTIHADLAH

                              Darah, Gore, Menetes, Pilek, Berdarah
Penulis: Ummu Muhammad
Muroja’ah: Ustadz Abu ‘Ukkasyah Aris Munandar
Definisi Istihadlah
Di kalangan wanita ada yang mengeluarkan darah dari farji’ (vagina)-nya di luar kebiasaan bulanan dan bukan karena sebab kelahiran. Darah ini diistilahkan sebagai darah istihadlah. Al Imam An Nawawi rahimahullaah dalam penjelasaannya terhadap Shahih Muslim mengatakan: “Istihadlah adalah darah yang mengalir dari kemaluan wanita bukan pada waktunya dan keluarnya dari urat.” (Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi 4/17, Fathul Bari 1/511)
Al Imam Al Qurthubi rahimahullaah mensifatkannya dengan darah segar yang di luar kebiasaan seorang wanita disebabkan urat yang terputus (Jami’ li Ahkamil Qur’an 3/57).
Syaikh Al Utsaimin rahimahullaah memberikan definisi istihadlah dengan darah yang terus menerus keluar dari seorang wanita dan tidak terputus selamanya atau terputus sehari dua hari dalam sebulan. Dalil keadaan yang pertama (darahnya tidak terputus selama-lamanya) dibawakan Al Imam Al Bukhari dalam Shahihnya dari hadits ‘Aisyah radhiallaahu ‘anha, ia berkata: “Fathimah bintu Abi Hubaisy berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku tidak pernah suci…’ “ (HR. Bukhari no. 306, 328, dan Muslim 4/16-17) Dalam riwayat lain: ‘Aku istihadlah tidak pernah suci… .’
Adapun dalil keadaan kedua adalah hadits Hamnah bintu Jahsyin radhiallaahu ‘anha ketika dia datang kepada Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wa Sallam dan mengadukan keadaan dirinya: “Aku pernah ditimpa istihadlah (darah yang keluar) sangat banyak dan deras…” (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi dan dishahihkannya. Dinukilkan dari Al Imam Ahmad akan penshahihan beliau terhadap hadits ini dan dari Al Imam Al Bukhari penghasanannya). (Terj.Risalah fid Dima’, hal. 40)
Antara Darah Haid dan Darah Istihadlah
Ketika Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wa Sallam diadukan oleh Hamnah radhiallaahu ‘anhatentang istihadlah yang menimpanya, beliau berkata, “Yang demikian hanyalah satu gangguan/dorongan dari setan.”
Atau dalam riwayat Shahihain dari hadits Fathimah bintu Abi Hubaisy, beliau mengatakan tentang istihadlah, “Yang demikian itu hanyalah darah dari urat, bukan haid.”
Hal ini menunjukkan bahwa istihadlah tidak sama dengan haid yang sifatnya alami, yaitu yang pasti dialami oleh setiap wanita normal sebagai salah satu tanda baligh. Namun istihadlah adalah satu penyakit yang menimpa kaum hawa dari perbuatan setan yang ingin menimbulkan keraguan pada anak Adam dalam pelaksanaan ibadahnya. Kata Al Imam As Shan’ani dalam Subulus Salam (1/159): “Makna sabda Nabi: (‘Yang demikian hanyalah satu dorongan/gangguan dari syaithan’) adalah setan mendapatkan jalan untuk membuat kerancuan terhadapnya dalam perkara agamanya, masa sucinya dan shalatnya hingga setan menjadikannya lupa terhadap kebiasaan haidnya.” Al Imam As Shan’ani melanjutkan: “Hal ini tidak menafikkan sabda Nabi yang mengatakan bahwa darah istihadlah dari urat yang dinamakan ‘aadzil karena dimungkinkan syaithan mendorong urat tersebut hingga terpancar darah darinya.” (Subulus Salam 1/159)
Keberadaan darah istihadlah bersama darah haid merupakan suatu masalah yang rumit. Sehingga menurut Ibnu Taimiyyah, keduanya harus dibedakan. Caranya bisa dengan ‘adat(kebiasaan haid) atau dengan tamyiz (membedakan sifat darah).
Perbedaan antara darah istihadlah dengan darah haid adalah darah haid merupakan darah alami, biasa dialami wanita normal dan keluarnya dari rahim sedangkan darah istihadlah keluar karena pecahnya urat, sifatnya tidak alami (tidak mesti dialami setiap wanita) serta keluar dari urat yang ada di sisi rahim. Ada perbedaan lain dari sifat darah haid bila dibandingkan dengan darah istihadlah:
  1. Perbedaan warna. Darah haid umumnya hitam sedangkan darah istihadlah umumnya merah segar.
  2. Kelunakan dan kerasnya. Darah haid sifatnya keras sedangkan istihadlah lunak.
  3. Kekentalannya. Darah haid kental sedangkan darah istihadlah sebaliknya.
  4. Aromanya. Darah haid beraroma tidak sedap/busuk.
Keadaan Wanita yang Istihadlah
Wanita yang istihadlah ada beberapa keadaan:
Pertama: Dia memiliki kebiasaan haid yang tertentu sebelum ia ditimpa istihadlah. Hingga tatkala keluar darah dari kemaluannya untuk membedakan apakah darah tersebut darah haid atau darah istihadlah, ia kembali kepada kebiasaan haidnya yang tertentu. Dia meninggalkan shalat dan puasa di hari-hari kebiasaan haidnya dan berlaku padanya hukum-hukum wanita haid, adapun di luar kebiasaan haidnya bila keluar darah maka darah tersebut adalah darah istihadlah dan berlaku padanya hukum-hukum wanita yang suci.
Misalnya: Seorang wanita haidnya datang selama enam hari di tiap awal bulan. Kemudian dia ditimpa istihadlah dimana darahnya keluar terus-menerus. Maka cara dia menetapkan apakah haid dan istihadlah adalah enam hari yang awal di tiap bulannya adalah darah haid sedangkan selebihnya adalah darah istihadlah. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah radhiallahu ‘anha yang mengabarkan kedatangan Fathimah bintu Abi Hubaisy guna mengadu kepada RasulullahShallallahu ‘Alaihi Wa Sallam“Wahai Rasulullaah, sesungguhnya aku tidak suci maka apakah aku harus meninggalkan shalat?” Nabi menjawab : “(Tidak, engkau tetap mengerjakan shalat). Itu hanyalah darah karena terputusnya urat. Apabila datang saat haidmu tinggalkanlah shalat dan bila telah berlalu hari-hari yang kau biasa haid, kemudian mandilah dan shalatlah.” (HR. Bukhari)
Dalam Shahih Muslim disebutkan bahwasannya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam berkata kepada Ummu Habibah bintu Jahsyin, “Diamlah engkau (tinggalkan shalat) sekadar hari-hari haidmu kemudian mandilah dan setelah itu shalatlah.” (HR. Muslim 4/25-26)
Dengan demikian, wanita yang keadaannya seperti ini dia meninggalkan shalat di hari-hari kebiasaan haidnya kemudian dia mandi, setelah itu ia boleh mengerjakan shalat dan tidak perlu mempedulikan darah yang keluar setelah itu karena darah tersebut adalah darah istihadlah dan dia hukumnya sama dengan wanita yang suci.
Keadaan kedua: Wanita itu tidak memiliki kebiasaan haid yang tertentu (mubtada’ah) sebelum ia ditimpa istihadlah namun ia bisa membedakan darah (mumayyizah). Maka untuk membedakan sifat darah haid dan darah istihadlah menggunakan cara tamyiz (pembedaan sifat darah). Darah haid dikenal dengan warnanya yang hitam, kental dan beraroma tidak sedap. Bila dia dapatkan demikian, maka berlaku padanya hukum-hukum haid sedangkan di luar dari itu berarti dia istihadlah.
Misalnya: seorang wanita melihat darah keluar dari kemaluannya terus-menerus, akan tetapi sepuluh hari yang awal dia melihat darahnya hitam sedangkan selebihnya berwarna merah, atau sepuluh hari awal berbau darah haid selebihnya tidak berbau, berarti sepuluh hari yang awal itu dia haid, selebihnya istihadlah, berdasarkan ucapan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kepada Fathimah bintu Abi Hubaisy, “Apabila darah itu darah haid maka dia berwarna hitam yang dikenal. Apabila demikian berhentilah dari shalat. Namun bila bukan demikian keadaannya berwudlulah dan shalatlah karena itu adalah darah penyakit.” (HR. Abu Daud, An Nasa’i, dan lain-lain. Dishahihkan oleh As Syaikh Al Albani rahimahullaah)
Bila seorang wanita yang istihadlah punya ‘adat haid dan bisa membedakan sifat darah (tamyiz), manakah yang harus dia dahulukan, ‘adat atau tamyiz? Dalam hal ini ada perbedaan pendapat di kalangan ahli ilmu. Ada yang berpendapat tamyiz yang didahulukan sebagaimana pendapatnya Imam Malik, Ahmad, dan Syafi’i. Mereka berdalil dengan hadits Fathimah bintu Abu Hubaisy di atas. Ada pula yang berpendapat ‘adat didahulukan sebagaimana pendapatnya Abu Hanifah dan pendapat ini yang dikuatkan Ibnu Taimiyyah dan juga Syaikh Ibnu Utsaimin. Dengan demikian bila ada seorang wanita memiliki ‘adat (kebiasaan haid) 5 hari, pada hari keempat dari ‘adat-nya keluar darah berwarna merah (sebagaimana darah istihadlah) namun pada hari kelima darah yang keluar kembali berwarna hitam maka ia berpegang dengan ‘adat-nya yang lima hari, sehingga hari keempat (yang keluar darinya darah berwarna merah) tetap terhitung dalam hari haidnya. Pendapat inilah yang lebih kuat. Wallahu A’lam.
Keadaan ketiga: Wanita itu tidak memiliki kebiasaan haid dan tidak pula dapat membedakan darahnya. Darah keluar terus-menerus sejak awal dia melihat darah keluar dari kemaluannya dan sifatnya sama atau tidak jelas perbedaannya. Maka untuk membedakan haid dan istihadlahnya adalah melihat kebiasaan kebanyakan wanita yaitu dia menganggap dirinya haid selama enam atau tujuh hari pada setiap bulannya dan dimulai sejak awal dia melihat keluarnya darah. Selebihnya berarti istihadlah.
Misalnya: seorang wanita melihat darah pertama kalinya pada hari Kamis bulan Ramadhan dan darah itu terus keluar tanpa dapat dibedakan apakah haid ataukah selainnya maka dia menganggap dirinya haid selama enam atau tujuh hari, dimulai dari hari Kamis.
Hal ini berdasarkan hadits Hamnah bintu Jahsyin radhiallaahu ‘anha dimana beliau mengalami istihadlah yang banyak dan deras, maka beliau meminta fatwa pada NabiShallallaahu’alaihi wa sallam. Beliau Shallallaahu’alaihi wa sallam bersabda, ‘Yang demikian itu hanyalah satu gangguan dari syaithan maka berhaidlah engkau selama enam atau tujuh hari, kemudian setelah lewat dari itu mandilah, hingga engkau lihat dirimu telah suci maka shalatlah selama 24 atau 23 siang malam, puasalah dan shalatlah. Maka hal tersebut mencukupimu. Demikianlah, lakukan hal ini setiap bulannya sebagaimana para wanita berhaid.'” (Hadits riwayat Imam Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi. Menurut Ahmad dan Tirmidzi hadits shohih, sedang menurut Imam Bukhoriy, hadits hasan)
Kata Al Imam As Shan’ani: “Dalam hadits ini (untuk menentukan haid dengan yang selainnya) Nabi mengembalikan kepada kebiasaan umumnya para wanita.” (Subulus Salam 1/159)
Wanita yang memiliki keadaan seperti ini, ia menganggap dirinya suci selama 24 hari bila kebiasaan haidnya enam hari atau ia menganggap dirinya suci selama 23 hari bila kebiasaan haidnya tujuh hari. Untuk menentukan enam atau tujuh hari bukan dengan seenaknya memilih namun dengan melihat kepada wanita lain yang paling dekat kekerabatannya dan berdekatan umur dengannya. Al Imam As Shan’ani mengatakan : “Ucapan Nabi dalam hadits: ((Berhaidlah engkau selama enam atau tujuh hari)) ini bukanlah syak (keraguan) dari rawi (yakni rawi ragu apakah Nabi mengatakan enam atau tujuh) dan bukan pula takhyir (disuruh memilih antara enam atau tujuh, -pent). Nabi mengatakan demikian untuk mengumumkan bahwasannya para wanita memiliki salah satu dari dua ‘adat (enam atau tujuh). Di antara mereka ada yang berhaid enam hari dan ada yang tujuh hari. Maka seorang wanita (yang meiliki kebiasaan seperti itu) mengembalikan kebiasaannya kepada wanita yang sama usia dengannya dan memiliki keserupaan (rahim) dengannya.” (Subulus Salam hal. 160)
Para ahli fikih berkata: “Apabila wanita yang istihadlah memiliki ‘adat (kebiasaan) yang tetap dan pasti, maka ia berhenti shalat dan puasa pada hari-hari ‘adat-nya tersebut (bila ia melihat darah) karena ‘adat lebih kuat dari selainnya. Apabila ia tidak mengetahui ‘adat-nya maka ia melakukan tamyiz (membedakan darah). Apabila ia tidak mampu membedakan darah maka ia melihat kebiasaan umumnya wanita.” (Bulughul Maram dengan catatan kaki yang berisi pembahasan As Syaikh Al Albani. Penjelasan Abdullah Al Bassam dan beberapa ulama Salaf, halaman 54)
Apabila kebiasaan wanita yang seumur dan paling dekat kekerabatan dengannya itu bukan enam atau tujuh hari (misalnya sepuluh hari), maka dia tetap harus berpedoman dengan kebiasaan wanita tersebut yaitu sepuluh hari. Allahu Ta’ala A’lam.
Kondisi keempat dan kelima: Jika wanita tersebut memliki kebiasaan haid tertentu, namun haidnya tidak teratur bilangannya (muktaribah), maka jika masih memungkinkan melakukantamyiz, maka kondisinya disesuaikan dengan wanita dengan kondisi kedua di atas.
Kondisi keenam: Wanita yang memiliki kebiasaan, namun lupa waktu dan bilangan hari haidnya dan tidak dapat membedakannya sementara darah terus-menerus keluar, maka ulama berselisih pendapat mengenai masalah ini. Ada yang berkata hukumnya sama dengan wanita baru haid yang tidak dapat membedakan darahnya (mubtada-ah). Ada yang berkata: Untuk kehati-hatian dia anggap dirinya haid hingga tidak halal bagi suaminya untuk menggaulinya dan di sisi lain dia anggap dirinya suci hingga ia terus shalat dan puasa. Ada yang mengatakan dia menetapkan hari-hari haidnya setiap awal bulan dan jumlah harinya sama dengan wanita di sekitarnya. Yang lain mengatakan dia harus berusaha sungguh-sungguh untuk membedakan darahnya semampu dia dan berusaha mengingat keadaan haidnya. (Majmu’ Syarhil Muhadzdzab 2/396). Yang rojih, menurut Syaikh Utsaimin dalamSyarhul Mumti’, adalah mengembalikannya pada kebiasaan wanita yang lain namun dalam hal ini lebih dipersempit. Misalnya wanita itu hanya ingat bahwa ia haid di awal bulan, namun lupa tanggal berapa. Kemudian keluar darah terus menerus. Ibu wanita tersebut memiliki haid yang teratur setiap awal bulan pada tanggal tertentu, demikian pula dengan saudara wanitanya hanya saja di akhir bulan. Maka wanita tersebut harus menetapkan tanggal haidnya sesuai tanggal haid ibunya, meski kekerabatan rahim dan umurnya lebih mendekati saudara wanitanya.
Kondisi ketujuh: Jika ia tahu bilangan/durasi haidnya dan letaknya (awal, tengah atau akhir), namun ia lupa tepatnya tanggal berapa ia haid, maka ada perbedaan pendapat di antara ulama. Sebagian mengatakan bahwa dia harus mengambil tanggal haidnya di awal bulan (meski ia yakin biasa haid di tengah bulan). Akan tetapi, menurut Syaikh ‘Utsaimin dalamSyarhul Mumti’ yang lebih mendekati pada kenyataan sebenarnya adalah mengambil tanggal pasti dari awal, tengah, atau akhir bulan. Misal wanita tersebut yakin ia haid di tengah bulan namun lupa tanggal berapa. Maka yang lebih mendekati kebenaran adalah ia menetapkan tanggal haidnya adalah tanggal 13, daripada menetapkan tanggal haidnya di awal bulan.
Hukum-Hukum Istihadlah
Hukum wanita yang istihadlah sama seperti hukum wanita yang suci kecuali pada hal berikut ini:
1. Wanita istihadlah bila ingin wudlu maka ia mencuci bekas darah dari kemaluannya dan menahan darahnya dengan kain (pembalut) berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kepada Hamnah radhiyallaahu’anha“Aku beritahukan kepadamu (untuk menggunakan) kapas karena dia mampu menyerap darah’. Hamnah radhiyallaahu’anha berkata, ‘Darahnya lebih banyak dari itu. Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda,’Gunakan kain’. Hamnah berkata,’darahnya lebih banyak dari itu’. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, ‘Gunakan penahan’.”
Dalam hal senggama dengan istri yang sedang istihadlah, ulama telah berselisih tentang kebolehannya, namun tidak dinukilkan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam adanya larangan, padahal banyak wanita yang ditimpa istihadlah pada masa beliau. Dan juga Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Maka jauhilah (jangan menyetubuhi) para istri ketika mereka sedang haid.” (Al Baqarah: 222). Dalam ayat ini, Allah Ta’ala hanya menyebutkan haid, yang berarti selain haid tidak diperintahkan untuk menjauhi istri. (Risalah fid Dimaa’ hal. 50)
Apakah Wajib Mandi Setiap Akan Shalat?
‘Aisyah radhiallahu ‘anha mengatakan bahwa Ummu Habibah istihadlah selama 7 tahun dan ia menanyakan perkaranya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Maka beliau memerintahkan kepada Ummu Habibah untuk mandi dan beliau mengatakan: “Darah itu dari urat. Adalah Ummu Habibah mandi setiap akan shalat.” (HR. Bukhari dalam Shahih-nya nomor 317 dan Muslim halaman 23)
Al Imam Muslim meriwayatkan hadits ini dari jalan Al Laits bin Sa’ad dari Ibnu Syihab dari Urwah dari Aisyah. Dan pada akhir hadits, Al Laits berkata: “Ibnu Syihab tidak menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam memerintahkan Ummu Habibah bintu Jahsyinradhiallahu ‘anha untuk mandi setiap akan shalat, akan tetapi hal itu dilakukan atas kehendak Ummu Habibah sendiri. Dengan demikian Al Laits berpendapat mandi setiap akan shalat bagi wanita istihadlah bukanlah dari perintah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Dan apa yang dipandang oleh Al Laits ini juga merupakan pendapat jumhur ulama sebagaimana dinukil dari mereka oleh Al Imam An Nawawi dalam Syarhu Muslim (4/19) dan Al Hafidh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 1/533. Al Imam An Nawawi berkata: “Ketahuilah tidak wajib bagi wanita istihadlah untuk mandi ketika akan mengerjakan shalat, tidak pula wajib mandi dari satu waktu yang ada kecuali sekali saja setiap berhentinya haid. Dengan ini berpendapat Jumhur Ulama dari kalangan Salaf dan Khalaf.” (4/19-20)
Adapun hadits yang ada tambahan lafadz: “Nabi memerintahkannya (Ummu Habibah) untuk mandi setiap akan shalat.” Adalah tambahan yang syadz karena Ibnu Ishaq -seorang perawi hadits ini- salah dalam membawakan riwayat sementara para perawi lainnya yang lebih kuat, meriwayatkan hadits ini dari Ibnu Syihab dengan lafadh: “Adalah Ummu Habibah mandi setiap akan shalat.” Dan perbedaan antara kedua lafadh ini jelas sekali. Bahkan Laits bin Sa’ad dan Sufyan Ibnu ‘Uyainah -dua dari perawi yang kuat- jelas-jelas mengatakan dalam riwayat Abu Daud bahwasannya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak memerintah Ummu Habibah untuk mandi. (Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/220-221) jelas sekali. Bahkan Laits bin Sa’ad dan Sufyan Ibnu ‘Uyainah -dua dari perawi yang kuat- jelas-jelas mengatakan dalam riwayat Abu Daud bahwasannya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak memerintah Ummu Habibah untuk mandi. (Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/220-221)
As Syaikh Shiddiq berkata dalam Syarah Ar Raudlah: “Tidak datang dalam satu hadits pun (yang shahih) adanya kewajiban mandi untuk setiap shalat (bagi wanita istihadlah), tidak pula mandi setiap dua kali shalat dan tidak pula setiap hari. Tapi yang shahih adalah kewajiban mandi ketika selesai dari waktu haid yang biasanya (menurut ‘adat) atau selesainya waktu haid dengan tamyiz sebagaimana datang dalam hadits Aisyah dalam Shahihain dan selainnya dengan lafadz: “Maka apabila datang haidmu, tinggalkanlah shalat dan bila berlalu cucilah darah darimu dan shalatlah.” Adapun dalam Shahih Muslim disebutkan Ummu Habibah mandi setiap akan shalat maka ini bukanlah dalil karena hal itu dilakukan atas kehendaknya sendiri dan bukan diperintahkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, bahkan yang ada, Nabi mengatakan kepadanya: “Diamlah engkau (tinggalkan shalat) sekadar hari haidmu kemudian (bila telah suci) mandilah.” (Bulughul Maram halaman 53 dengan catatan kaki pembahasan As Syaikh Al Albani dan lain-lain)
Ibnu Taimiyyah berpendapat sebagaimana dinukil dalam kitab Bulughul Maram (halaman 53 dengan catatan kaki) bahwasannya mandi setiap shalat ini hanyalah sunnah, tidak wajib menurut pendapat imam yang empat, bahkan yang wajib bagi wanita istihadlah adalah wudlu setiap shalat lima waktu menurut pendapat jumhur, di antaranya Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad.
Apakah Wajib Wudlu Setiap Akan Shalat?
Al Imam Al Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada ‘Aisyah radhiallahu ‘anhabahwasannya Fathimah bintu Abi Hubaisy datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallamdan mengadukan istihadlah yang menimpanya dan ia bertanya: “‘Apakah aku harus meninggalkan shalat?’ Maka Nabi mengatakan, ‘Tidak itu hanyalah urat bukan haid, maka apabila datang haidmu tinggalkanlah shalat dan jika berlalu maka cucilah darah haidmu kemudian shalatlah.’ “ (HR. Bukhari: 228)
Hadits di atas dalam riwayat Nasa’i dari jalan Hammad bin Zaid ada tambahan lafadz:“Berwudlulah” setelah lafadz: “Cucilah darah haidmu”. Sehingga dalam riwayat Nasa’i, lafadz hadits di atas adalah: “Cucilah darah haidmu, wudlulah, dan shalatlah.” (HR. Nasa’i 1/185)
Al Imam Muslim ketika meriwayatkan hadits ini dalam Shahih-nya (4/21) tanpa tambahan di atas sebagaimana Al Imam Al Bukhari membawakan tanpa tambahan. Al Imam Muslim memberikan isyarat lemahnya tambahan tersebut dengan ucapannya: “Dalam hadits Hammad bin Zaid ada tambahan yang kami tinggalkan penyebutannya.”
Kata Al Imam An Nawawi rahimahullah dalam Syarah Muslim mengutip ucapan Qadli ‘Iyyadl: “Tambahan yang ditinggalkan penyebutannya oleh Al Imam Muslim adalah: ((“watawadl-dla’i/ berwudlulah”)). An Nasa’i dan lainnya menyebutkan tambahan ini, sedangkan Imam Muslim membuangnya karena Hammad, salah seorang perawi hadits ini, bersendiri dalam menyebutkan tambahan tersebut (adapun perawi-perawi lain tidak menyebut tambahan: ‘Berwudlulah’ pent.). An Nasa’i sendiri mengatakan: “Kami tidak mengetahui adanya seorang pun selain Hammad yang mengatakan/menyebutkan: ‘Berwudlulah’ ” (Syarah Muslim 4/22)
Demikian pula Imam Tirmidzi, Darimi, Ahmad, dan Nasa’i sendiri dari jalan Khalid Ibnul Harits dan Malik meriwayatkan tanpa tambahan di atas. (Lihat Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/224- 226).
Kesimpulannya: Perintah wudlu bukanlah datang dari Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wa Sallam dan perintah yang datang dalam masalah ini adalah lemah sebagaimana dilemahkan oleh para ulama. Namun jangan sampai dipahami bahwa yang wajib adalah mandi setiap shalat dan sudah lewat penyebutan kami tentang masalah mandi bagi wanita istihadlah ini.Walhamdulillah.
Maroji’:
  1. Darah yang Menimpa Wanita, [MUSLIMAH Rubrik Kajian Kita Edisi 37/1421 H/2001 M], Ummu Ishaq Zulfa Husein Al Atsariyyah.
  2. Istihadlah, [MUSLIMAH Edisi 41/1423 H/2002 M Rubrik Kajian Kita ]., Ummu Ishaq Zulfa Husein Al Atsariyah.
  3. Risalah fi Ad Dima’ Ath Thabi’iyyah lin Nisa’ (Terj. Darah Kebiasaan Wanita), Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin.
  4. Darah Kebiasaan Wanita, rekaman dauroh, al Ustadz Ibnu Yunus